TUGAS ISD BAB XI CONTOH KASUS
BAB XI
CONTOH KASUS SETIAP BAB
1. BAB 1
(Pengantar Ilmu Sosial Dasar)
Setiap tahun angka perokok pada
remaja semakin bertambah, terutama siswa yang masih duduk di bangku sekolah
dasar hingga sekolah menengah ke atas. masalah seperti ini tidak bisa di
biarkan begitu saja, kita semua dapat berpartisipasi agar perokok pada remaja
setiap tahunnya bisa berkurang, untuk menyikapi masalah ini agar di beri
penyuluhan tentang dampak buruk dan bahayanya perokok di setiap sekolah.
2. BAB II
(Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan)
Rambu Solo’ Pemakaman Adat Tana
Toraja
Siapa
yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat
dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer
dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya
leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini.
Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar
budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja
yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap
melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan
tahun yang lalu. Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya
peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan
dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini
menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan.
Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap
tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.
Ada
berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara
pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya
terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara
Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’. Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi
dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah
upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai
direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan
nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan
prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib
menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah
meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih. Tidak hanya ritual adat yang
dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut
dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu
kaki). Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan
raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran tingkat
kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa
menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.
Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu Solo’
biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran, karena
banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi pemakaman
tersebut. Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh hari
lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus dipotong saja
tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi. Dagingnya akan
mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses Rambu Solo’.
Upacara
yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal adalah adu kerbau
atau yang biasa disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade
kerbau terlebih dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku
Toraja. Yang bule atau albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta
rupiah. Ada pula kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang
disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke).
Prosesi
pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan selanjutnya,
yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore,
pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang
sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali. Rambu Solo’ mencerminkan
kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong,
kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu
kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi
lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan
mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok
kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di
Toraja.
3. BAB III
(Individu, Keluarga, dan Masyarakat)
DUNIA ANAK-ANAK TERCEMAR NARKOBA
Narkoba tidak pandang bulu, siapa
pun bisa menjadi korbannya tak terkecuali anak-anak dan remaja. Dari 4 juta
pengguna narkoba, 70 persen di antaranya adalah mereka yang berusia 14 hingga
20 tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut laporannya.
Tak salah jika kita mengatakan dunia
anak-anak dan remaja adalah masa yang paling indah. Jika kita isi dengan
hal-hal yang menyenangkan namun dunia ini akan menjadi neraka ketika mereka
terjebak dalam lingkaran setan narkoba.
Lihat saja anak-anak ini rata-rata
mereka yang terlibat narkoba ini telah terlibat sejak usia dini. Awalnya mereka
menjadi korban kemudian secara kecil-kecilan menjadi pengedar atau kurir.
Biasanya anak-anak ini mulai mencoba menghisap ganja, kemudian berlanjut kepada
obat-obatan jenis psikotropika lainnya. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan
akan obat terlarang ini. Mereka bisa menjadi pengedar kecil-kecilan.
Keterlibatan anak-anak ini juga
dikarenakan mudahnya mereka mendapatkan barang-barang haram ini. Mulai dari
nongkrong-nongkrong di warung hingga mendatangi langsung sang bandar untuk
membelinya.Tak bisa dipungkiri anak-anak turut menjadi korban obat-obatan
terlarang. Ironisnya, mereka yang rentan terkena kasus narkoba ini biasanya
akibat pengaruh lingkungan seperti mereka yang biasa hidup di jalan dan
permukiman kumuh.
Menurut penelitian organisasi
perburuhan internasional sekitar 20 persen anak-anak di Jakarta terlibat dan
menjadi korban narkoba. Kendati data pertahunnya tersangka kasus anak-anak
menurun namun tetap saja mengkhawatirkan.
Selain kepolisian, orang tua
tentunya harus menjadi ujung tombak dalam perang melawan narkoba ini. Pasalnya
deteksi awal gejala pengguna narkoba bisa dilakukan oleh orang tua para
pengguna narkoba ini biasanya menunjukkan gejala menyendiri takut dengan orang
lain, mudah tersinggung dan sulit diajak bicara. Tentunya peran masyarakat
harus lebih besar dalam mencegah peredaran barang haram ini.
4. BAB IV
(Pemuda dan Sosialisasi)
Belum lama ini dunia pendidikan di
hebohkan dengan berita tawuran antar pelajar SMA di daerah jakarta selatan, hal
ini mengakbiatkan seorang pelajar tewas. tawuran pelajar ini merupakan salah
satu bentuk sikap negatif pemuda khususnya di kalangan pelajar yang meresahkan
masyarakat. Kurangnya pemahaman mengenai rasa bersosialisasi antar manusia
mengakibatkan seorang pemuda merasa dirinya tidak memerlukan siapapun , dan
merasa dirinya paling hebat, namun hal seperti itulah yang akan membuat pemuda
tersebut terlihat bodoh.
Para peneliti menyimpulkan bahwa
terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran pelajar , yaitu: (1)
Siswa yang terlibat tawuran pelajar berasal dari keluarga yang tidak harmonis;
(2) Siswa yang terlibat tawuran
berasal dari sekolah yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah;
(3) Siswa yang terlibat tawuran
adalah siswa yang tingkat kecerdasan dan prestasi belajarnya rendah;
(4) Siswa yang terlibat tawuran
adalah pecandu narkoba; dan
(5) Siswa yang terlibat tawuran
berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Jika kita sejenak menengok ke belakang
ketika masa penjajahan berlangsung di bangsa Indonesia , Pemuda merupakan
generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader
keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda
dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran
pemuda yang menolak kekeuasaan. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda
Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung
Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan
sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga
kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
5. BAB V (Warga
Negara dan Negara)
· Di
Negara Indonesia Ini, pemerintah telah membangun sebuah lembaga yang bernama
Kantor Pajak. Kantor Pajak berfungsi untuk menampung semua data warga
Negara Indonesia yang wajib membayar pajak, akan tetapi masih banyak warga
Negara yang seharusnya membayar, dia tidak melaksanakan kewajiban ini.
· Samuel
Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing
berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia
karena terbukti telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel
Iwuchukwu Okoye terbukti melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang
disembunyikan di dalam tasnya saat masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari
2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang memvonis hukuman mati pada 5 Juli
2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti menyelundupkan 3,2 kg heroin pada
tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian
memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat oleh putusan
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati tersebut
telah dieksekusi mati, Kamis tengah malam di Nirbaya, Pulau Nusakambangan,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga
Negara Asing tersebut? Atas dasar apakah penegakan hukum itu dilakukan?
Asas teritorialitas mengajarkan
bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini
merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada
kedaulatan negara. Ketentuan asas territorialitas di Indonesia termaktub dalam
KUHP Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan, berlaku
bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa
saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan
tindak pidana di wilayah Indonesia. Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan
bagi pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan kedua Warga Negara Nigeria
tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan asas territorialitas di
Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan
tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan
asas territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan
tindak pidana di wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia
baginya.
6. BAB VI
(Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat)
Kasus Ade Irma misalnya, setelah 2
tahun memperjuangkan haknya mendapatkan pelayanan kesehatan, oleh Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo baru bisa menerimanya. Walau keberhasilannya itu, harus
dibayar mahal dengan nyawanya yang tidak tertolong. Ade, satu diantara sekian
banyak pemilik sah kartu keluarga miskin yang ditolak keluhan kesehatannya oleh
rumah sakit. Risma Alfian, bocah pasangan Suharsono (25) dan Siti Rohmah (24),
sudah empat belas bulan tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Kepalanya yang
terus membesar membuat Risma tidak bisa bangun. Sejak umur satu bulan, Risma
sudah divonis terkena hydrocephalus (kelebihan cairan di otak manusia sehingga
kepala penderita semakin besar).
Bidan tempatnya menerima imunisasi,
meminta Risma segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi
tidak serta merta bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk
mendanainya.
Bahkan dengan memiliki kartu Gakin
yang diperolehnya dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam
perawatan medis. Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
7. BAB VII
(Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan)
Kehidupaan masyarakat desa berbeda
dengan masyarakat kota. Perbedaan yang paling mendasar adalah keadaan
lingkungan, yang mengakibatkan dampak terhadap personalitas dan segi-segi
kehidupan. Kesan masyarakat kota terhadap masyarakat desa adalah bodoh, lambat
dalam berpikir dan bertindak, serta mudah tertipu dsb. Kesan seperti ini karena
masyarakat kota hanya menilai sepintas saja, tidak tahu, dan kurang banyak
pengalaman.Untuk memahami masyarakat pedesaan dan perkotaan tidak
mendefinisikan secara universal dan obyektif. Tetapi harus berpatokan pada
ciri-ciri masyarakat. Ciri-ciri itu ialah adanya sejumlah orang, tingal dalam
suatu daerah tertentu, ikatan atas dasar unsur-unsur sebelumnya, rasa
solidaritas, sadar akan adanya interdepensi, adanya norma-norma dan
kebudayaan.Masyarakat pedesaan ditentukan oleh bentuk fisik dan sosialnya,
seperti ada kolektifitas, petani individu, tuan tanah, buruh tani, nelayan
dsb.Masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan masing-masing dapat
diperlakukan sebagai sistem jaringan hubungan yang kekal dan penting, serta
dapat pula dibedakan masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat lain. Jadi
perbedaan atau ciri-ciri kedua masyarakat tersebut dapat ditelusuri dalam hal
lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas,
kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenotas, perbedaan sosisal, mobilitas
sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran
kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistem lainnya.Contohnya dalam
lapangan pekerjaan, sebagian besar masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk
mencari nafkah di kota, karena di kota lebih luas lapangan kerjanya dari pada
di desa, lain halnya masyarakat kota yang selalu memilih tempat liburan ketika
ingin mendinginkan fikiran dan hati karena padatnya kehidupan di kota
kebanyakan memilih berliburan di daerah - daerah pedesaan.
8. BAB VIII
(Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat)
Sebagai contoh kecil pertentangan
dalam hubungan sosial di negara kita yaitu di pedalaman daerah seperti di Papua
yang masih sering terjadi konflik sampai berakhir dengan perang antar suku.
Sebenarnya masalah yang ada hanyalah perebutan hak tanah yang menjadi konflik
antar suku, mereka sebenarnya mengenal penyelesaian masalah dengan cara
musyawarah namum hal itu juga tidak menemui titik temu dan berakhir bentrok
lagi yang akhirnya menimbulkan korban jiwa. Ini adalah pertentangan sosial yang
terus menerus terjadi di tanah papua yang sering meresahkan masyarakat
sekitarnya.Bila kita melihat di Ibukota negara kita ini Jakarta juga masih
terjadi pertentangan sosial bahkan di dunia pendidikan, hanya masalah spele
saling ejek-mengejek sampai terjadi tawuran antar pelajar kelompok dengan
kelompok. Masalah spele bahkan hanya karna pertentangan individu dengan
individu menjadi besar pertentangan kelompok dengan kelompok, dikarenakan hanya
bila ada satu pihak disakita maka semuanya merasa disakiti. Ini hal yang
seharusnya menjadi bahan refrensi kenapa harus menjadi besar, memang jelas
mungkin masalah kedudukan.Masalah kedudukan memang menjadi faktor pertentangan,
perebutan kedudukan dalam hal apapun yang bisa menimbulkan keributan dari
awalnya hanya sepihak menjadi kelompok dan berkembang menjadi masalah yang
berakibat perang antar kelompok. Ini sebuah masalah yang berawal dari masalah
kecil yang tidak diselesaikan dengan kepala dingin dan masih menggunakan otot
hanya demi mendapatkan apa yang diinginkan yaitu kedudukan yang lebih tinggi
agar memegang kekuasaan namun dengan cara yang salah dengan cara bodoh yaitu
kekerasan.Memang banyak hal yang menimbulkan pertentangan dalam hubungan sosial
apalagi dinegara kita yang notabennya negara dengan banyak suku agama warna
kulit dan lain-lain. Yang memang masih banyak perpecahan dalam masyarakat kita
hanya dengan hal kecil bisa terjadi pertentangan yang menimbulkan perpecahan.
Apalagi dengan perpecahan yang terjadi pada ibukota negara kita, kota yang
harusnya sudah menjadi contoh bagi kota lain dari segi sikap maupun sifat yang
ditunjukan sudah menjadi patokan bagi yang lainnya. Pelajar yang masih bentrok
hanya dengan masalah kecil, mereka terpelajar bahkan mengetahui bahwa hal
tersebut tidak baik dan tidak patut dilakukan oleh pelajar yang seharusnya
menjadi tombak penggerak bangsa Indonesia.Ada juga pertentangan yang terjadi
karena adanya provokator yang memperngaruhi atau sengaja mengadu domba satu pihak
dengan pihak yang lainnya, yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan dan
konflik antara kedua kelompok. Padahal belom tentu masalah tersebut ada akar
permasalahan yang jelas bahkan pada akhirnya hanya menemui titik buntu dalam
permasalahan itu sendiri yang hanya menghasilkan pertumpahan darah yang tiada
artinya diperjuangkan.
9. BAB IX (Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan)
Sebagai contoh kasus, kita dapat
memperhatikan fakta kondisi ekonomi para guru atau dosen. Guru atau dosen yang
notabenenya adalah orang-orang berilmupengetahuan, sampai saat ini masih banyak
dari mereka yang keadaan ekonominya berada di bawah rata-rata. Fokus pada
seorang Dosen sebagai contoh, dimana secara keilmuan dan pengetahuan mereka
sudah tercitra sebagai gudangnya, disini jika boleh jujur, tidak sedikit Dosen
yang berada dalam kemiskinan. Hal itu karena mereka konsisten dengan pekerjaan
mereka, yakni dalam rangka mengemban dan menjalankan amanah Tridarma Perguruan
Tinggi.
Persoalan kemudian jika ternyata
terdapat Dosen kaya, itu mengarah pada fakta lain di luar tugas mereka sebagai
pengamal Tridarma Perguruan Tinggi. Fakta ini, misalnya, terkait dengan
keluarga keturunan orang kaya yang punya tambak, sawah, toko, panti pijat,
bahkan punya kapling Selat Madura. Dengan demikian orang yang berilmu
pengetahuan dan berkeahlian dalam suatu bidang teknologi tertentu tidak lantas
dapat dipastikan bahwa dirinya tidak tergolong miskin atau tidak berada dalam
kemiskinan.
10. BAB X (Agama dan
Masyarakat)
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang
terjadi sejak bulan Januari 1999 hingga saat ini telah memasuki periode kedua,
yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah
membawah penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di
Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya.Kerusuhan Ambon (Maluku) yang
semula menurut pemahaman kalangan masyarakat awam sebagai sebuah tragedi
kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak/peristiwa kriminal biasa,
ternyata berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan adalah merupakan
sebuah rekayasa yang direncanakan oleh orang atau kelompok tertentu demi
kepentingannya dengan mempergunakan isu SARA dan beberapa faktor internal
didaerah (seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi dibidang pemerintahan dll)
untuk melanggengkan skenario yang ditetapkan.Begitu matangnya rencana yang
dilakukan yang diikuti dengan berbagai penyebaran isu yang menyesatkan, seperti
adanya usaha-usaha dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) yang
sengaja diidentifisir dengan Republik Maluku Serani (Kristen), adanya usaha
untuk membantai umat Islam di Maluku, keterlibatan preman Kristen Jakarta, isu
pemasokan senjata kepada umat Kristen di Maluku dari Israel dan Belanda, serta
berbagai isu menyesatkan lainnya telah menimbulkan semakin kuat dan
mengentalnya sikap dan prilaku fanatisme terhadap masing-masing agama (Islam
dan Kristen).Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan ABRI untuk
mengklarifikasi isu-isu yang tidak bertanggung jawab tersebut ternyata tidak mampu
meredam kekuatan dari mereka yang menginginkan agar kerusuhan Ambon (Maluku)
terus diperpanjang dan diperluas.Penciptaan kondisi ini semakin menguat ketika
ABRI (TNI dan Polri) telah dengan sengaja ikut menciptakan konflik yang
berkepanjangan melalui penanganan pengendalian keamanan yang tidak profesional
dan terkesan bertendensi mengipas-ngipas agar kerusuhan di Maluku tak kunjung
selesai.Peranan Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Militer serta
komponen bangsa lainnya yang ada di daerah melalui berbagai upaya rekonsiliasi
untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai hanya bersifat "semu"
belaka. Satu dan lain hal disebabkan karena tidak ada kemauan yang transparan
dalam upaya menyelesaikan pertikaian, juga upaya rekonsiliasi lebih bersifat
Top Down dan bukan Bottom Up
Komentar
Posting Komentar